Selasa, 21 April 2015

MAKALAH QIRA'AT



A.    LATAR BELAKANG
Al qur’an adalah wahyu Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril di turunkan secara mutawatir dan yang membacanya di hitung sebagai ibadah. Berbagai macam versi dalam membacanya yaitu berdasarkan para ahli Qura’ yang mashur, maka dari itu kami mencoba memaparkan materi Qira’at Al qur’an.
B.     PEMBAHASAN
1.      Pengerian Qira’at.
Al-Qira’at bentuk jama’ dari kata qira’ah dan berasal dari kata qara’a- yaqra’u- qira’atan. Menurut istilah, qira’ah ialah salah satu aliran dalam mengucapkan Al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam Qura’ yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al- Qur’anul karim. Qira’ah ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasul SAW.[1] Ada beberapa devinisi qira’at sebagai berikut:
a.       Menurut az-Zarqani :
Qira’ah ialah suatu cara membaca Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam ahli Qira’ah, yang berbeda dengan cara orang lain dalam mengucapkan Al-Qur’anil Karim, sekalipun riwayat (sanad) dan jalannya sama.
b.      Menurut Ibn al Jazari :
Ilmu yang mengenai cara mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedan-perbedaannya.
Dari beberapa definisi qira’ah, dapat diketahui bahwa syarat-syarat diterimanya qira’atil Qur’an itu ada tiga hal, sebagai berikut:
1.      Qira’ah tersebut harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
2.      Sanad dari riwayat yang menceritakan qira’ah-qira’ah tersebut harus sahih.
3.      Bacaan dari qira’ah tersebut harus cocok diterapkan kepada salah satu mushaf Ustmani.[2]
Qira’ah Sab’ah adalah tujuh versi qira’at yang di nisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang yaitu Ibnu Amir, Ibnu Katsir, Ashim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’, dan al Kasa’i.[3]
        Jadi dapat disimpulkan bahwa qira’at adalah perbedaan–perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an baik dari segi huruf-huruf maupun bentuk-bentuk lainnya berdasarkan sanad-sanadnya.
2.      Latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at.
Pada masa Kholifah Utsman ada perselisihan antara kaum muslimin di daerah azarbeijan mengenai bacaan Al-Qur’an. Perselisihan tersebut hampir saja menimbulkan perang saudara, sebab mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Akhirnya di kenal Qira’ah dari negara-negara tersebut. Secara umum, perbedaan qiraat Al-Qur’an didasarkan atas perbedaan hal-hal sebagai berikut:
1.      Berbeda dalam i’rab, atau harakat suatu kata yang tidak merubah tulisan dan makna. Seperti dalam Q.S. asy-Syuara [26] ayat 13:
 وَيَضِيْقُ صَدْ رِ يْ وَلَا يَنْطَلِقُ لِسَا نِيْ فَاَ رْ سِلْ اِ لٰى هرُوْنَ
Kata wayadiqu dalam ayat tersebut bisa pula dibaca dengan nashab  (wayadiqa) tanpa mengubah makna maupun tulisan.
2.      Berbeda dalam i’rab dan harakat yang merubah makna, tetapi bentuk tulisan tetap. Seperti dalam Q.S. al-Baqoroh [2] ayat 37:
فَتَلَقّى ادَمُ مِنْ رَّبِّه كَلِمَتٍ .
“kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya”
Lafal kalimatin bisa dibaca dalam posisi rafa’ (kalimatun) sehingga maknanya berubah menjadi “kemudian Adam diberi beberapa kalimat dari Tuhannya”.
3.      Berbeda dalam huruf, makna, tetapi bentuk tulisan sama. Seperti dalam Q.S. al-Baqoroh [2] ayat 259:
وَانْظُرْاِٰلى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَالَحْمًا ....
“dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”, kata nunsyizuha bisa dibaca nansyuzuha sehingga maknanya menjadi “menghidupkannya.
4.      Berbeda dalam huruf, tulisan, tetapi tidak berubah makna. Seperti dalam Q.S. t-Tur [52] ayat 37:
اَمْ عِنْدَهُمْ خَزاىنُ رَبِّكَ اَمْ هُمُ الْمُصۜيْطِرُوْنَ
“ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekalah yang berkuasa?”
Kata al-musaitirun  bisa dibaca huruf sad diganti sin, walaupun terjadi perubahan huruf, akan tetapi tidak mengubah makna.
5.      Berbeda dalam huruf, bentuk tulisan, dan makna. Seperti dalam Q.S. al-Waqi’ah [56] ayat 29: 
وَّطَلْحٍ مَّنْضُوْد  
وطَلْعٍ...
Kata talhin dapat dibaca talhin sehingga maknanya berubah: talhin berarti “pohon pisang” sedangkan talhin berarti “pemandangan”.
6.      Perbedaan qiraat dalam bentuk taqdim atau ta’khir, yaitu mendahulukan atau mengemudiankan lafal atau kalimat tertentu dalam susunan ayat al-Qur’an. Seperti Q.S. an-Nahl [16] ayat 112:
 .... فَاَذَا قَهَا اللهُ لِبَاسَ الجُوْعِ وَالخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُوْنَ
Ayat di atas bisa dibaca dengan mendahulukan lafal al-khauf dan mengemudiankan lafal al-ju’ sehingga ayat tersebut berbunyi:
 .... فَاَذَا قَهَا اللهُ لِبَاسَ الخَوْفِ وَ الجُوْعِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُوْنَ
7.     Perbadaan qiraat dalam bentuk penambahan (az-ziyadah) dan pengurangan (an-nuqsan). Seperti dalam Q.S. at-Taubah [9] ayat 100:
... واَعَدَّ لَهُمْ جَنَّتٍ تَجْرِيْ تَهْتَهَا الاَنْهَارُ ...
Lafal tahtaha dapat dibaca dengan menambahakan kata min, menjadi        mintahtiha, sehingga ayat tersebut berbunyi:[4]
... وَ اَعَدَّ لَهُمْ جَنَّتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَهْتِهَا الاَنْهَارُ .......
8.     Perbedaan qiraat disebabkan adanya perbedaan dialek kebahasaan. Seperti dalam Q.S. ali-Imran [3] ayat 106:
يَوْمَ تِبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَّ تَسْوَدُّ وُجُوْهٌ...
Lafal taswaddu bisa dibaca dengan mengharakati kasroh pada huruf awal fi’il mudhari’-nya, menjadi tiswaddu.[5]
Dengan berbagai perbedaan diatas, maka bermunculan para qurra’ yang ahli dan masyhur dalam berbagai cara dalam membaca Al-Qur’an.
3.      Pengaruh Qira’at dalam Istinbath Hukum dan Contoh Alikatifnya.
Perbedaan antara satu qira’at dan qira’at lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini  tentu membawa sedikit atau banyak perbedaan kepada makna, selanjutnya berpengaruh pada hukum yang diistinbath daripadanya.[6]
Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, diantaranya; Menurut qira’at Nafi’ dibaca Hatta “Yathurna” dan menurut qira’at Hamzah dan Al-Kasai dibaca “Hatta Yattahharna”. Qira’at pertama dengan sukun tha’ dan dammah ha’ menunjukkan larangan menggauli perempuan ketika haid, berarti boleh dicampuri setelah terputusnya haid sekalipun belum mandi. Sedangkan qira’at kedua dengan tasydid tha’ dan ha’ menunjukkan bahwa wanita yang haid itu tidak boleh digauli, kecuali setelah bersuci dengan mandi besar terlebih dahulu.[7]                                                                                                        
Perbedaan dalam istinbat. لَمَسْتُمُ النّسَاء dan juga mempengaruhi لاَ مَسْتُم الّنِسَاءَ  Perbedaan Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, bersentuh antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Sebab, menurut Hanafi, kata:   لا مَسْتمْdi sini berarti jima’ dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan perasaan hawa nafsu. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i bersentuhan semata akan membatalkan wudhu.[8]   
4.      Faedah Perbedaan Qira’at
a.       Menunjukkan bahwa Al-Qur’an selalu terpelihara dari usaha-usaha tahrif, perubahan-penggantian, pengurangan maupun penambahan, meski kitab itu dibaca dengan berbagai qira’ah.
b.      Memberi keringanan umat agar mereka mudah membaca sesuai dengan cara yang mudah dibacanya.
c.       Menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an, walau singkat tetapi padat, karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
d.      Menunjukkan adanya kemungkinan bacaan yang berlainan dalam suatu lafal/kata, sehinnga dapat dibaca dengan cara yang berbeda-beda.[9]

C.    PENUTUP
Kesimpulan
Qira’at adalah perbedaan – perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an baik dari segi huruf-huruf maupun bentuk-bentuk lainnya, dengan versi qira’at yang di nisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang yaitu Ibnu Amir, Ibnu Katsir, Ashim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’, dan al Kasa’i.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1999. Studi Ilmu Al-Qur’an. Bandung; Cv Pusaka Setia
Ahmad syadali dan Ahmad rofi’i, 1997, Ulumul Qur’an, Bandung; Pustaka Setia
Faizah, Nur. 2008. Sejarah Al-Qur’an. Jakarta; Cv Artha Rivera
Djalal, Abdul.1998. Ulumul Qur’an. Surabaya; Dunia Ilmu.
Al Abyari, Ibrahim. 1993. Sejarah Al-Qur’an.  Semarang; Dina Utama.





[1] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Studi Ilmu Al-Qur’an,Terj. (Aminudin), Cet. Ke-1, (Bandung; Cv Pustaka Setia, 1999), hlm. 374.
[2] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, Cet 3, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008) hlm. 332.
[3] Nur Faizah,  Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta; Cv Artha Rivera, 2008), hlm. 141

[4] Ibrahim Al Abyari, Sejarah Al-Qur’an, Terj. Cet, ke-1, (Semarang; Dina Utama, 1993), hal. 106-109.
[5] Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: CV Artha Rivera, 2008)  hal. 140
[6] Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an I, Cet 1, (Bandung; CV Pustaka Setia, 1997) hal. 232.
[7] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, Cet 1, (Surabaya; Dunia Ilmu, 1998), hal. 344.
[8] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I, hal. 233-234.
      [9] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, hal. 343-344.A.    LATAR BELAKANG
Al qur’an adalah wahyu Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril di turunkan secara mutawatir dan yang membacanya di hitung sebagai ibadah. Berbagai macam versi dalam membacanya yaitu berdasarkan para ahli Qura’ yang mashur, maka dari itu kami mencoba memaparkan materi Qira’at Al qur’an.
B.     PEMBAHASAN
1.      Pengerian Qira’at.
Al-Qira’at bentuk jama’ dari kata qira’ah dan berasal dari kata qara’a- yaqra’u- qira’atan. Menurut istilah, qira’ah ialah salah satu aliran dalam mengucapkan Al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam Qura’ yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al- Qur’anul karim. Qira’ah ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasul SAW.[1] Ada beberapa devinisi qira’at sebagai berikut:
a.       Menurut az-Zarqani :
Qira’ah ialah suatu cara membaca Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam ahli Qira’ah, yang berbeda dengan cara orang lain dalam mengucapkan Al-Qur’anil Karim, sekalipun riwayat (sanad) dan jalannya sama.
b.      Menurut Ibn al Jazari :
Ilmu yang mengenai cara mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedan-perbedaannya.
Dari beberapa definisi qira’ah, dapat diketahui bahwa syarat-syarat diterimanya qira’atil Qur’an itu ada tiga hal, sebagai berikut:
1.      Qira’ah tersebut harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
2.      Sanad dari riwayat yang menceritakan qira’ah-qira’ah tersebut harus sahih.
3.      Bacaan dari qira’ah tersebut harus cocok diterapkan kepada salah satu mushaf Ustmani.[2]
Qira’ah Sab’ah adalah tujuh versi qira’at yang di nisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang yaitu Ibnu Amir, Ibnu Katsir, Ashim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’, dan al Kasa’i.[3]
        Jadi dapat disimpulkan bahwa qira’at adalah perbedaan–perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an baik dari segi huruf-huruf maupun bentuk-bentuk lainnya berdasarkan sanad-sanadnya.
2.      Latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at.
Pada masa Kholifah Utsman ada perselisihan antara kaum muslimin di daerah azarbeijan mengenai bacaan Al-Qur’an. Perselisihan tersebut hampir saja menimbulkan perang saudara, sebab mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Akhirnya di kenal Qira’ah dari negara-negara tersebut. Secara umum, perbedaan qiraat Al-Qur’an didasarkan atas perbedaan hal-hal sebagai berikut:
1.      Berbeda dalam i’rab, atau harakat suatu kata yang tidak merubah tulisan dan makna. Seperti dalam Q.S. asy-Syuara [26] ayat 13:
 وَيَضِيْقُ صَدْ رِ يْ وَلَا يَنْطَلِقُ لِسَا نِيْ فَاَ رْ سِلْ اِ لٰى هرُوْنَ
Kata wayadiqu dalam ayat tersebut bisa pula dibaca dengan nashab  (wayadiqa) tanpa mengubah makna maupun tulisan.
2.      Berbeda dalam i’rab dan harakat yang merubah makna, tetapi bentuk tulisan tetap. Seperti dalam Q.S. al-Baqoroh [2] ayat 37:
فَتَلَقّى ادَمُ مِنْ رَّبِّه كَلِمَتٍ .
“kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya”
Lafal kalimatin bisa dibaca dalam posisi rafa’ (kalimatun) sehingga maknanya berubah menjadi “kemudian Adam diberi beberapa kalimat dari Tuhannya”.
3.      Berbeda dalam huruf, makna, tetapi bentuk tulisan sama. Seperti dalam Q.S. al-Baqoroh [2] ayat 259:
وَانْظُرْاِٰلى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَالَحْمًا ....
“dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”, kata nunsyizuha bisa dibaca nansyuzuha sehingga maknanya menjadi “menghidupkannya.
4.      Berbeda dalam huruf, tulisan, tetapi tidak berubah makna. Seperti dalam Q.S. t-Tur [52] ayat 37:
اَمْ عِنْدَهُمْ خَزاىنُ رَبِّكَ اَمْ هُمُ الْمُصۜيْطِرُوْنَ
“ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekalah yang berkuasa?”
Kata al-musaitirun  bisa dibaca huruf sad diganti sin, walaupun terjadi perubahan huruf, akan tetapi tidak mengubah makna.
5.      Berbeda dalam huruf, bentuk tulisan, dan makna. Seperti dalam Q.S. al-Waqi’ah [56] ayat 29: 
وَّطَلْحٍ مَّنْضُوْد  
وطَلْعٍ...
Kata talhin dapat dibaca talhin sehingga maknanya berubah: talhin berarti “pohon pisang” sedangkan talhin berarti “pemandangan”.
6.      Perbedaan qiraat dalam bentuk taqdim atau ta’khir, yaitu mendahulukan atau mengemudiankan lafal atau kalimat tertentu dalam susunan ayat al-Qur’an. Seperti Q.S. an-Nahl [16] ayat 112:
 .... فَاَذَا قَهَا اللهُ لِبَاسَ الجُوْعِ وَالخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُوْنَ
Ayat di atas bisa dibaca dengan mendahulukan lafal al-khauf dan mengemudiankan lafal al-ju’ sehingga ayat tersebut berbunyi:
 .... فَاَذَا قَهَا اللهُ لِبَاسَ الخَوْفِ وَ الجُوْعِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُوْنَ
7.     Perbadaan qiraat dalam bentuk penambahan (az-ziyadah) dan pengurangan (an-nuqsan). Seperti dalam Q.S. at-Taubah [9] ayat 100:
... واَعَدَّ لَهُمْ جَنَّتٍ تَجْرِيْ تَهْتَهَا الاَنْهَارُ ...
Lafal tahtaha dapat dibaca dengan menambahakan kata min, menjadi        mintahtiha, sehingga ayat tersebut berbunyi:[4]
... وَ اَعَدَّ لَهُمْ جَنَّتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَهْتِهَا الاَنْهَارُ .......
8.     Perbedaan qiraat disebabkan adanya perbedaan dialek kebahasaan. Seperti dalam Q.S. ali-Imran [3] ayat 106:
يَوْمَ تِبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَّ تَسْوَدُّ وُجُوْهٌ...
Lafal taswaddu bisa dibaca dengan mengharakati kasroh pada huruf awal fi’il mudhari’-nya, menjadi tiswaddu.[5]
Dengan berbagai perbedaan diatas, maka bermunculan para qurra’ yang ahli dan masyhur dalam berbagai cara dalam membaca Al-Qur’an.
3.      Pengaruh Qira’at dalam Istinbath Hukum dan Contoh Alikatifnya.
Perbedaan antara satu qira’at dan qira’at lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini  tentu membawa sedikit atau banyak perbedaan kepada makna, selanjutnya berpengaruh pada hukum yang diistinbath daripadanya.[6]
Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, diantaranya; Menurut qira’at Nafi’ dibaca Hatta “Yathurna” dan menurut qira’at Hamzah dan Al-Kasai dibaca “Hatta Yattahharna”. Qira’at pertama dengan sukun tha’ dan dammah ha’ menunjukkan larangan menggauli perempuan ketika haid, berarti boleh dicampuri setelah terputusnya haid sekalipun belum mandi. Sedangkan qira’at kedua dengan tasydid tha’ dan ha’ menunjukkan bahwa wanita yang haid itu tidak boleh digauli, kecuali setelah bersuci dengan mandi besar terlebih dahulu.[7]                                                                                                        
Perbedaan dalam istinbat. لَمَسْتُمُ النّسَاء dan juga mempengaruhi لاَ مَسْتُم الّنِسَاءَ  Perbedaan Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, bersentuh antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Sebab, menurut Hanafi, kata:   لا مَسْتمْdi sini berarti jima’ dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan perasaan hawa nafsu. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i bersentuhan semata akan membatalkan wudhu.[8]   
4.      Faedah Perbedaan Qira’at
a.       Menunjukkan bahwa Al-Qur’an selalu terpelihara dari usaha-usaha tahrif, perubahan-penggantian, pengurangan maupun penambahan, meski kitab itu dibaca dengan berbagai qira’ah.
b.      Memberi keringanan umat agar mereka mudah membaca sesuai dengan cara yang mudah dibacanya.
c.       Menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an, walau singkat tetapi padat, karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
d.      Menunjukkan adanya kemungkinan bacaan yang berlainan dalam suatu lafal/kata, sehinnga dapat dibaca dengan cara yang berbeda-beda.[9]

C.    PENUTUP
Kesimpulan
Qira’at adalah perbedaan – perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an baik dari segi huruf-huruf maupun bentuk-bentuk lainnya, dengan versi qira’at yang di nisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang yaitu Ibnu Amir, Ibnu Katsir, Ashim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’, dan al Kasa’i.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1999. Studi Ilmu Al-Qur’an. Bandung; Cv Pusaka Setia
Ahmad syadali dan Ahmad rofi’i, 1997, Ulumul Qur’an, Bandung; Pustaka Setia
Faizah, Nur. 2008. Sejarah Al-Qur’an. Jakarta; Cv Artha Rivera
Djalal, Abdul.1998. Ulumul Qur’an. Surabaya; Dunia Ilmu.
Al Abyari, Ibrahim. 1993. Sejarah Al-Qur’an.  Semarang; Dina Utama.




[1] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Studi Ilmu Al-Qur’an,Terj. (Aminudin), Cet. Ke-1, (Bandung; Cv Pustaka Setia, 1999), hlm. 374.
[2] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, Cet 3, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008) hlm. 332.
[3] Nur Faizah,  Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta; Cv Artha Rivera, 2008), hlm. 141

[4] Ibrahim Al Abyari, Sejarah Al-Qur’an, Terj. Cet, ke-1, (Semarang; Dina Utama, 1993), hal. 106-109.
[5] Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: CV Artha Rivera, 2008)  hal. 140
[6] Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an I, Cet 1, (Bandung; CV Pustaka Setia, 1997) hal. 232.
[7] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, Cet 1, (Surabaya; Dunia Ilmu, 1998), hal. 344.
[8] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I, hal. 233-234.
      [9] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, hal. 343-344.