A.
LATAR BELAKANG
Al qur’an
adalah wahyu Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat
Jibril di turunkan secara mutawatir dan yang membacanya di hitung sebagai
ibadah. Berbagai macam versi dalam membacanya yaitu berdasarkan para ahli Qura’
yang mashur, maka dari itu kami mencoba memaparkan materi Qira’at Al qur’an.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengerian Qira’at.
Al-Qira’at bentuk jama’ dari kata qira’ah dan berasal dari kata qara’a-
yaqra’u- qira’atan. Menurut istilah, qira’ah ialah salah satu aliran
dalam mengucapkan Al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam Qura’
yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al- Qur’anul karim. Qira’ah
ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasul SAW.[1] Ada
beberapa devinisi qira’at sebagai berikut:
a.
Menurut az-Zarqani :
Qira’ah ialah suatu
cara membaca Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam ahli Qira’ah,
yang berbeda dengan cara orang lain dalam mengucapkan Al-Qur’anil Karim,
sekalipun riwayat (sanad) dan jalannya sama.
b.
Menurut Ibn al Jazari :
Ilmu yang mengenai cara mengucapkan
kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedan-perbedaannya.
Dari
beberapa definisi qira’ah, dapat diketahui bahwa syarat-syarat
diterimanya qira’atil Qur’an itu ada tiga hal, sebagai berikut:
1.
Qira’ah tersebut harus sesuai dengan
kaidah-kaidah bahasa Arab.
2.
Sanad dari riwayat yang
menceritakan qira’ah-qira’ah tersebut harus sahih.
3.
Bacaan dari qira’ah tersebut harus cocok diterapkan kepada salah
satu mushaf Ustmani.[2]
Qira’ah Sab’ah adalah
tujuh versi qira’at yang di nisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah
tujuh orang yaitu Ibnu Amir, Ibnu Katsir, Ashim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’, dan al
Kasa’i.[3]
Jadi dapat disimpulkan bahwa qira’at adalah perbedaan–perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an baik dari segi huruf-huruf maupun bentuk-bentuk lainnya berdasarkan sanad-sanadnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa qira’at adalah perbedaan–perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an baik dari segi huruf-huruf maupun bentuk-bentuk lainnya berdasarkan sanad-sanadnya.
2.
Latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at.
Pada masa
Kholifah Utsman ada perselisihan antara kaum muslimin di daerah azarbeijan
mengenai bacaan Al-Qur’an. Perselisihan tersebut hampir saja menimbulkan perang
saudara, sebab mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat Al-Qur’an.
Akhirnya di kenal Qira’ah dari negara-negara tersebut. Secara umum,
perbedaan qiraat Al-Qur’an didasarkan atas perbedaan hal-hal sebagai berikut:
1.
Berbeda
dalam i’rab, atau harakat suatu kata yang tidak merubah tulisan dan
makna. Seperti dalam Q.S. asy-Syuara [26] ayat 13:
وَيَضِيْقُ صَدْ رِ يْ وَلَا يَنْطَلِقُ لِسَا نِيْ فَاَ رْ سِلْ اِ لٰى هرُوْنَ
Kata
wayadiqu dalam ayat tersebut bisa pula dibaca dengan nashab (wayadiqa) tanpa mengubah makna
maupun tulisan.
2.
Berbeda
dalam i’rab dan harakat yang merubah makna, tetapi bentuk tulisan tetap.
Seperti dalam Q.S. al-Baqoroh [2] ayat 37:
فَتَلَقّى ادَمُ مِنْ رَّبِّه كَلِمَتٍ .
“kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya”
Lafal
kalimatin bisa dibaca dalam posisi rafa’ (kalimatun)
sehingga maknanya berubah menjadi “kemudian Adam diberi beberapa kalimat
dari Tuhannya”.
3.
Berbeda
dalam huruf, makna, tetapi bentuk tulisan sama. Seperti dalam Q.S. al-Baqoroh
[2] ayat 259:
وَانْظُرْاِٰلى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ
نَكْسُوْهَالَحْمًا ....
“dan
lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya
kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”, kata nunsyizuha bisa dibaca nansyuzuha sehingga
maknanya menjadi “menghidupkannya.
4.
Berbeda
dalam huruf, tulisan, tetapi tidak berubah makna. Seperti dalam Q.S. t-Tur [52]
ayat 37:
اَمْ عِنْدَهُمْ خَزاىنُ رَبِّكَ اَمْ هُمُ الْمُصۜيْطِرُوْنَ
“ataukah
di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekalah yang berkuasa?”
Kata
al-musaitirun bisa dibaca huruf sad
diganti sin, walaupun terjadi perubahan huruf, akan tetapi tidak
mengubah makna.
5.
Berbeda
dalam huruf, bentuk tulisan, dan makna. Seperti dalam Q.S. al-Waqi’ah [56] ayat
29:
وَّطَلْحٍ
مَّنْضُوْد
وطَلْعٍ...
Kata
talhin dapat dibaca talhin sehingga maknanya berubah: talhin
berarti “pohon pisang” sedangkan talhin berarti “pemandangan”.
6.
Perbedaan
qiraat dalam bentuk taqdim atau ta’khir, yaitu mendahulukan atau
mengemudiankan lafal atau kalimat tertentu dalam susunan ayat al-Qur’an.
Seperti Q.S. an-Nahl [16] ayat 112:
....
فَاَذَا قَهَا اللهُ لِبَاسَ الجُوْعِ وَالخَوْفِ بِمَا كَانُوا
يَصْنَعُوْنَ
Ayat
di atas bisa dibaca dengan mendahulukan lafal al-khauf dan
mengemudiankan lafal al-ju’ sehingga ayat tersebut berbunyi:
.... فَاَذَا قَهَا اللهُ
لِبَاسَ الخَوْفِ وَ الجُوْعِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُوْنَ
7.
Perbadaan
qiraat dalam bentuk penambahan (az-ziyadah) dan pengurangan (an-nuqsan).
Seperti dalam Q.S. at-Taubah [9] ayat 100:
...
واَعَدَّ لَهُمْ جَنَّتٍ تَجْرِيْ تَهْتَهَا الاَنْهَارُ ...
Lafal
tahtaha dapat dibaca dengan menambahakan kata min, menjadi mintahtiha, sehingga ayat
tersebut berbunyi:[4]
... وَ اَعَدَّ لَهُمْ جَنَّتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَهْتِهَا الاَنْهَارُ
.......
8.
Perbedaan
qiraat disebabkan adanya perbedaan dialek kebahasaan. Seperti dalam Q.S.
ali-Imran [3] ayat 106:
يَوْمَ تِبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَّ تَسْوَدُّ وُجُوْهٌ...
Lafal
taswaddu bisa dibaca dengan mengharakati kasroh pada huruf awal fi’il
mudhari’-nya, menjadi tiswaddu.[5]
Dengan
berbagai perbedaan diatas, maka bermunculan para qurra’ yang ahli dan
masyhur dalam berbagai cara dalam membaca Al-Qur’an.
3.
Pengaruh Qira’at dalam Istinbath Hukum dan Contoh Alikatifnya.
Perbedaan
antara satu qira’at dan qira’at lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf,
bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata.
Perbedaan-perbedaan ini tentu membawa
sedikit atau banyak perbedaan kepada makna, selanjutnya berpengaruh pada hukum
yang diistinbath daripadanya.[6]
Adapun
perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan
berpengaruh terhadap istinbat hukum, diantaranya; Menurut qira’at Nafi’ dibaca
Hatta “Yathurna” dan menurut qira’at Hamzah dan Al-Kasai dibaca “Hatta
“Yattahharna”. Qira’at pertama dengan sukun tha’ dan dammah ha’
menunjukkan larangan menggauli perempuan ketika haid, berarti boleh dicampuri
setelah terputusnya haid sekalipun belum mandi. Sedangkan qira’at kedua dengan
tasydid tha’ dan ha’ menunjukkan bahwa wanita yang haid itu tidak boleh
digauli, kecuali setelah bersuci dengan mandi besar terlebih dahulu.[7]
Perbedaan dalam
istinbat. لَمَسْتُمُ النّسَاء dan juga mempengaruhi لاَ مَسْتُم
الّنِسَاءَ Perbedaan Menurut madzhab Hanafi dan
Maliki, bersentuh antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu.
Sebab, menurut Hanafi, kata: لا مَسْتمْdi sini berarti jima’ dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai
dengan perasaan hawa nafsu. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i bersentuhan
semata akan membatalkan wudhu.[8]
4.
Faedah Perbedaan Qira’at
a.
Menunjukkan
bahwa Al-Qur’an selalu terpelihara dari usaha-usaha tahrif,
perubahan-penggantian, pengurangan maupun penambahan, meski kitab itu dibaca
dengan berbagai qira’ah.
b.
Memberi
keringanan umat agar mereka mudah membaca sesuai dengan cara yang mudah
dibacanya.
c.
Menunjukkan
kemukjizatan Al-Qur’an, walau singkat tetapi padat, karena setiap qiraat
menunjukkan sesuatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
d.
Menunjukkan
adanya kemungkinan bacaan yang berlainan dalam suatu lafal/kata, sehinnga dapat
dibaca dengan cara yang berbeda-beda.[9]
C.
PENUTUP
Kesimpulan
Qira’at
adalah perbedaan –
perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an baik dari segi huruf-huruf maupun
bentuk-bentuk lainnya, dengan versi qira’at yang di nisbatkan kepada para imam
qira’at yang berjumlah tujuh orang yaitu Ibnu Amir, Ibnu Katsir, Ashim, Abu
Amr, Hamzah, Nafi’, dan al Kasa’i.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1999. Studi
Ilmu Al-Qur’an. Bandung; Cv Pusaka Setia
Ahmad syadali dan Ahmad rofi’i,
1997, Ulumul Qur’an, Bandung; Pustaka Setia
Faizah, Nur. 2008. Sejarah Al-Qur’an.
Jakarta; Cv Artha Rivera
Djalal,
Abdul.1998. Ulumul Qur’an. Surabaya; Dunia Ilmu.
Al
Abyari, Ibrahim. 1993. Sejarah Al-Qur’an. Semarang; Dina Utama.
[1] Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Studi Ilmu Al-Qur’an,Terj. (Aminudin), Cet. Ke-1, (Bandung;
Cv Pustaka Setia, 1999), hlm. 374.
[3] Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta; Cv Artha
Rivera, 2008), hlm. 141
[4] Ibrahim Al
Abyari, Sejarah Al-Qur’an, Terj. Cet, ke-1, (Semarang; Dina Utama,
1993), hal. 106-109.
[5] Nur Faizah, Sejarah
Al-Qur’an, (Jakarta: CV Artha Rivera, 2008)
hal. 140
[6] Ahmad Syadali,
Ulumul Qur’an I, Cet 1, (Bandung; CV Pustaka Setia, 1997) hal. 232.
[7] Abdul Djalal, Ulumul
Qur’an, Cet 1, (Surabaya; Dunia Ilmu, 1998), hal. 344.
[8] Ahmad Syadali
dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I, hal. 233-234.
Al qur’an
adalah wahyu Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat
Jibril di turunkan secara mutawatir dan yang membacanya di hitung sebagai
ibadah. Berbagai macam versi dalam membacanya yaitu berdasarkan para ahli Qura’
yang mashur, maka dari itu kami mencoba memaparkan materi Qira’at Al qur’an.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengerian Qira’at.
Al-Qira’at bentuk jama’ dari kata qira’ah dan berasal dari kata qara’a-
yaqra’u- qira’atan. Menurut istilah, qira’ah ialah salah satu aliran
dalam mengucapkan Al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam Qura’
yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al- Qur’anul karim. Qira’ah
ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasul SAW.[1] Ada
beberapa devinisi qira’at sebagai berikut:
a.
Menurut az-Zarqani :
Qira’ah ialah suatu
cara membaca Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam ahli Qira’ah,
yang berbeda dengan cara orang lain dalam mengucapkan Al-Qur’anil Karim,
sekalipun riwayat (sanad) dan jalannya sama.
b.
Menurut Ibn al Jazari :
Ilmu yang mengenai cara mengucapkan
kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedan-perbedaannya.
Dari
beberapa definisi qira’ah, dapat diketahui bahwa syarat-syarat
diterimanya qira’atil Qur’an itu ada tiga hal, sebagai berikut:
1.
Qira’ah tersebut harus sesuai dengan
kaidah-kaidah bahasa Arab.
2.
Sanad dari riwayat yang
menceritakan qira’ah-qira’ah tersebut harus sahih.
3.
Bacaan dari qira’ah tersebut harus cocok diterapkan kepada salah
satu mushaf Ustmani.[2]
Qira’ah Sab’ah adalah
tujuh versi qira’at yang di nisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah
tujuh orang yaitu Ibnu Amir, Ibnu Katsir, Ashim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’, dan al
Kasa’i.[3]
Jadi dapat disimpulkan bahwa qira’at adalah perbedaan–perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an baik dari segi huruf-huruf maupun bentuk-bentuk lainnya berdasarkan sanad-sanadnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa qira’at adalah perbedaan–perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an baik dari segi huruf-huruf maupun bentuk-bentuk lainnya berdasarkan sanad-sanadnya.
2.
Latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at.
Pada masa
Kholifah Utsman ada perselisihan antara kaum muslimin di daerah azarbeijan
mengenai bacaan Al-Qur’an. Perselisihan tersebut hampir saja menimbulkan perang
saudara, sebab mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat Al-Qur’an.
Akhirnya di kenal Qira’ah dari negara-negara tersebut. Secara umum,
perbedaan qiraat Al-Qur’an didasarkan atas perbedaan hal-hal sebagai berikut:
1.
Berbeda
dalam i’rab, atau harakat suatu kata yang tidak merubah tulisan dan
makna. Seperti dalam Q.S. asy-Syuara [26] ayat 13:
وَيَضِيْقُ صَدْ رِ يْ وَلَا يَنْطَلِقُ لِسَا نِيْ فَاَ رْ سِلْ اِ لٰى هرُوْنَ
Kata
wayadiqu dalam ayat tersebut bisa pula dibaca dengan nashab (wayadiqa) tanpa mengubah makna
maupun tulisan.
2.
Berbeda
dalam i’rab dan harakat yang merubah makna, tetapi bentuk tulisan tetap.
Seperti dalam Q.S. al-Baqoroh [2] ayat 37:
فَتَلَقّى ادَمُ مِنْ رَّبِّه كَلِمَتٍ .
“kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya”
Lafal
kalimatin bisa dibaca dalam posisi rafa’ (kalimatun)
sehingga maknanya berubah menjadi “kemudian Adam diberi beberapa kalimat
dari Tuhannya”.
3.
Berbeda
dalam huruf, makna, tetapi bentuk tulisan sama. Seperti dalam Q.S. al-Baqoroh
[2] ayat 259:
وَانْظُرْاِٰلى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ
نَكْسُوْهَالَحْمًا ....
“dan
lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya
kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”, kata nunsyizuha bisa dibaca nansyuzuha sehingga
maknanya menjadi “menghidupkannya.
4.
Berbeda
dalam huruf, tulisan, tetapi tidak berubah makna. Seperti dalam Q.S. t-Tur [52]
ayat 37:
اَمْ عِنْدَهُمْ خَزاىنُ رَبِّكَ اَمْ هُمُ الْمُصۜيْطِرُوْنَ
“ataukah
di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekalah yang berkuasa?”
Kata
al-musaitirun bisa dibaca huruf sad
diganti sin, walaupun terjadi perubahan huruf, akan tetapi tidak
mengubah makna.
5.
Berbeda
dalam huruf, bentuk tulisan, dan makna. Seperti dalam Q.S. al-Waqi’ah [56] ayat
29:
وَّطَلْحٍ
مَّنْضُوْد
وطَلْعٍ...
Kata
talhin dapat dibaca talhin sehingga maknanya berubah: talhin
berarti “pohon pisang” sedangkan talhin berarti “pemandangan”.
6.
Perbedaan
qiraat dalam bentuk taqdim atau ta’khir, yaitu mendahulukan atau
mengemudiankan lafal atau kalimat tertentu dalam susunan ayat al-Qur’an.
Seperti Q.S. an-Nahl [16] ayat 112:
....
فَاَذَا قَهَا اللهُ لِبَاسَ الجُوْعِ وَالخَوْفِ بِمَا كَانُوا
يَصْنَعُوْنَ
Ayat
di atas bisa dibaca dengan mendahulukan lafal al-khauf dan
mengemudiankan lafal al-ju’ sehingga ayat tersebut berbunyi:
.... فَاَذَا قَهَا اللهُ
لِبَاسَ الخَوْفِ وَ الجُوْعِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُوْنَ
7.
Perbadaan
qiraat dalam bentuk penambahan (az-ziyadah) dan pengurangan (an-nuqsan).
Seperti dalam Q.S. at-Taubah [9] ayat 100:
...
واَعَدَّ لَهُمْ جَنَّتٍ تَجْرِيْ تَهْتَهَا الاَنْهَارُ ...
Lafal
tahtaha dapat dibaca dengan menambahakan kata min, menjadi mintahtiha, sehingga ayat
tersebut berbunyi:[4]
... وَ اَعَدَّ لَهُمْ جَنَّتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَهْتِهَا الاَنْهَارُ
.......
8.
Perbedaan
qiraat disebabkan adanya perbedaan dialek kebahasaan. Seperti dalam Q.S.
ali-Imran [3] ayat 106:
يَوْمَ تِبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَّ تَسْوَدُّ وُجُوْهٌ...
Lafal
taswaddu bisa dibaca dengan mengharakati kasroh pada huruf awal fi’il
mudhari’-nya, menjadi tiswaddu.[5]
Dengan
berbagai perbedaan diatas, maka bermunculan para qurra’ yang ahli dan
masyhur dalam berbagai cara dalam membaca Al-Qur’an.
3.
Pengaruh Qira’at dalam Istinbath Hukum dan Contoh Alikatifnya.
Perbedaan
antara satu qira’at dan qira’at lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf,
bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata.
Perbedaan-perbedaan ini tentu membawa
sedikit atau banyak perbedaan kepada makna, selanjutnya berpengaruh pada hukum
yang diistinbath daripadanya.[6]
Adapun
perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan
berpengaruh terhadap istinbat hukum, diantaranya; Menurut qira’at Nafi’ dibaca
Hatta “Yathurna” dan menurut qira’at Hamzah dan Al-Kasai dibaca “Hatta
“Yattahharna”. Qira’at pertama dengan sukun tha’ dan dammah ha’
menunjukkan larangan menggauli perempuan ketika haid, berarti boleh dicampuri
setelah terputusnya haid sekalipun belum mandi. Sedangkan qira’at kedua dengan
tasydid tha’ dan ha’ menunjukkan bahwa wanita yang haid itu tidak boleh
digauli, kecuali setelah bersuci dengan mandi besar terlebih dahulu.[7]
Perbedaan dalam
istinbat. لَمَسْتُمُ النّسَاء dan juga mempengaruhi لاَ مَسْتُم
الّنِسَاءَ Perbedaan Menurut madzhab Hanafi dan
Maliki, bersentuh antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu.
Sebab, menurut Hanafi, kata: لا مَسْتمْdi sini berarti jima’ dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai
dengan perasaan hawa nafsu. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i bersentuhan
semata akan membatalkan wudhu.[8]
4.
Faedah Perbedaan Qira’at
a.
Menunjukkan
bahwa Al-Qur’an selalu terpelihara dari usaha-usaha tahrif,
perubahan-penggantian, pengurangan maupun penambahan, meski kitab itu dibaca
dengan berbagai qira’ah.
b.
Memberi
keringanan umat agar mereka mudah membaca sesuai dengan cara yang mudah
dibacanya.
c.
Menunjukkan
kemukjizatan Al-Qur’an, walau singkat tetapi padat, karena setiap qiraat
menunjukkan sesuatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
d.
Menunjukkan
adanya kemungkinan bacaan yang berlainan dalam suatu lafal/kata, sehinnga dapat
dibaca dengan cara yang berbeda-beda.[9]
C.
PENUTUP
Kesimpulan
Qira’at
adalah perbedaan –
perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an baik dari segi huruf-huruf maupun
bentuk-bentuk lainnya, dengan versi qira’at yang di nisbatkan kepada para imam
qira’at yang berjumlah tujuh orang yaitu Ibnu Amir, Ibnu Katsir, Ashim, Abu
Amr, Hamzah, Nafi’, dan al Kasa’i.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1999. Studi
Ilmu Al-Qur’an. Bandung; Cv Pusaka Setia
Ahmad syadali dan Ahmad rofi’i,
1997, Ulumul Qur’an, Bandung; Pustaka Setia
Faizah, Nur. 2008. Sejarah Al-Qur’an.
Jakarta; Cv Artha Rivera
Djalal,
Abdul.1998. Ulumul Qur’an. Surabaya; Dunia Ilmu.
Al
Abyari, Ibrahim. 1993. Sejarah Al-Qur’an. Semarang; Dina Utama.
[1] Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Studi Ilmu Al-Qur’an,Terj. (Aminudin), Cet. Ke-1, (Bandung;
Cv Pustaka Setia, 1999), hlm. 374.
[3] Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta; Cv Artha
Rivera, 2008), hlm. 141
[4] Ibrahim Al
Abyari, Sejarah Al-Qur’an, Terj. Cet, ke-1, (Semarang; Dina Utama,
1993), hal. 106-109.
[5] Nur Faizah, Sejarah
Al-Qur’an, (Jakarta: CV Artha Rivera, 2008)
hal. 140
[6] Ahmad Syadali,
Ulumul Qur’an I, Cet 1, (Bandung; CV Pustaka Setia, 1997) hal. 232.
[7] Abdul Djalal, Ulumul
Qur’an, Cet 1, (Surabaya; Dunia Ilmu, 1998), hal. 344.
[8] Ahmad Syadali
dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I, hal. 233-234.